Wina, Austria – Pada tanggal 6 November 2024, sebuah Forum Group Discussion (FGD) bertema “Otoritas Agama di Indonesia dan Austria” diselenggarakan secara eksklusif di School Office of the Official Islamic Religious Authority di Wina, Austria. Acara ini menghadirkan para narasumber dari Indonesia dan Austria yang memiliki kompetensi dan rekam jejak akademik dalam kajian Islam kontemporer dan otoritas keagamaan. Salah satu narasumber utama dari Indonesia adalah Dr. Imam Mustofa, M.S.I., dosen sekaligus peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung, yang selama ini dikenal aktif dalam kajian otoritas keagamaan, fiqh sosial, dan isu-isu keislaman global.

Turut menjadi narasumber dalam FGD ini adalah Dr. Wildani Hefni, M.A., dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, yang mempresentasikan dinamika tafsir otoritas keagamaan di ruang publik digital. Dari pihak Austria, FGD menghadirkan Prof. Dr. Rüdiger Lohlker, Guru Besar Kajian Islam di Universität Wien (Universitas Wina), yang dikenal luas dalam riset-risetnya mengenai Islam Eropa, diaspora Muslim, dan transformasi otoritas agama di tengah masyarakat multikultural. Acara ini mempertemukan berbagai perspektif akademik lintas negara dalam membahas bagaimana otoritas keagamaan dibentuk, diakui, dan dinegosiasikan di dua negara yang memiliki karakteristik sosial dan politik keagamaan yang berbeda.
Dalam paparannya, Dr. Imam Mustofa menekankan bahwa otoritas keagamaan di Indonesia bersifat plural dan berakar pada legal pluralism yang telah berkembang sejak masa kolonial. Ia menjelaskan bagaimana otoritas agama tidak hanya dimiliki oleh negara melalui Kementerian Agama, tetapi juga oleh ormas Islam, pesantren, dan figur-figur ulama karismatik. “Yang menarik di Indonesia, otoritas agama tidak tunggal, melainkan hasil dari dialektika antara tradisi, tafsir, dan institusi. Ini berbeda dengan Austria, di mana Islam lebih banyak dibentuk oleh kerangka hukum negara sebagai agama minoritas,” terang Dr. Imam. Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan maqāṣid al-sharī‘ah dalam menjaga relevansi otoritas keagamaan di era disrupsi dan digitalisasi.
Diskusi yang berlangsung hangat ini turut dihadiri oleh akademisi muda, mahasiswa Muslim generasi Z di kota Wina, serta perwakilan komunitas diaspora Indonesia yang tergabung dalam Warga Pengajian Austria (Wapena). Selain itu, perwakilan dari Islamische Glaubensgemeinschaft in Österreich (IGGÖ) atau Dewan Komunitas Islam Austria juga hadir dan aktif dalam sesi dialog. Mereka mengapresiasi perspektif dari para narasumber Indonesia yang memberikan gambaran kontras namun saling melengkapi tentang bagaimana otoritas agama dipraktikkan dan dinegosiasikan dalam konteks sosial yang berbeda. Prof. Lohlker dalam tanggapannya menyatakan bahwa Indonesia adalah contoh menarik dari negara mayoritas Muslim yang tidak menerapkan teokrasi, namun memiliki kelembagaan keagamaan yang kuat dan dinamis.
FGD ini ditutup dengan harapan akan adanya kolaborasi riset lebih lanjut antara institusi pendidikan Islam di Indonesia dan lembaga keislaman di Austria, baik dalam bentuk pertukaran akademik, seminar bersama, maupun publikasi internasional. “Pertemuan seperti ini menjadi penting untuk menjembatani pemahaman lintas budaya dan agama, terutama di tengah tantangan global yang semakin kompleks,” ujar Dr. Wildani Hefni dalam penutupannya. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga menjadi forum dialog antarbudaya yang mempererat hubungan antara komunitas Muslim Indonesia dan Austria dalam kerangka saling belajar dan bertumbuh secara intelektual.





